Cericau @nengtatix & @respatiaffandi

Cericau @nengtatix & @respatiaffandi

Melukis Rupa Seni

Share

Kaki tak beralas itu pelan-pelan menapaki jalan aspal, mengikuti putaran roda gerobak yang ditarik sepeda motor tua. Tetes demi tetes cat minyak jatuh dari selembar kanvas yang menempel di belakangnya, dan sepasang tangan kurus tanpa kuas begitu piawai bermain warna. Ratusan karya telah lahir dari berjalan kaki sambil melukis sepanjang Yogyakarta-Jakarta, dua di antaranya  masuk  Istana Negara.

Ki Joko Wasis (52) menceritakan perjalanan empat tahun silam itu saat mampir di Saung Sastra dekat Kampus Unisma Kota Bekasi. Segelas kopi hitam sudah tandas, tapi rokok kretek di jemari seolah tak pernah putus. Di hadapannya, tergeletak Buku ‘Jalan Raya Pos, Jalan Daendels’ karya sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Ki  Wasis, begitu ia akrab dipanggil, menyusupkan tangan ke dalam tas jinjing kecil dan mengeluarkan sebuah kaca pembesar, kemudian mendekatkannya ke mata. Ia pun mulai meraba huruf dengan jari telunjuk.

“Saya akan melukis jalan kaki dari Anyer hingga Panarukan,” ucap Ki Joko Wasis, berbarengan kepulan asap rokok keluar dari mulutnya.
Radikalisme seni rupa Ki Wasis cukup menggemparkan banyak orang. Ada anggapan, pelukis kelahiran Yogyakarta ini hanya mencari sensasi. Tetapi itu segera dijawab dengan ratusan karya yang ia hasilkan dari melukis jalan kaki. Maksud perjalanan pertama, misalnya, ia ingin ‘bersedekah’ seni untuk prajurit Mataram ketika mereka menyerang Batavia lewat jalur Pantura. Di setiap kota yang dilewati, ia selalu menyempatkan diri ke makam para pahlawan dan orang besar, sekadar mendoakan. Lukisan tentang Sultan Agung pun diminta pihak Istana Negara guna disimpan di Museum Nasional.

Tempat sejarah dan makam pejuang, cerita Ki Wasis, kondisinya banyak yang meprihatinkan. Itu kerap terjadi pada makam para pejuang tak ternama, padahal mereka berperan penting dalam memperjuangkan daerahnya masing-masing. “Merekalah orang-orang yang mulia hatinya,” kenang Ki Wasis.

Sepanjang perjalanan, Ki Wasis seperti berada dalam suasana perang jaman perjuangan. Orang-orang kampung secara suka cita menyambut dan membekalinya makanan, kadangkala minta dilukiskan sesuatu. Limpahan pengalaman itu mengkristal menjadi lukisan. Inilah apa yang disebut Ki Wasis sebagai rupa seni. Ketika peristiwa-peristiwa merupa dalam bentuk karya, maka di situlah seni bisa universal. Lantas apa maksud ‘rupa seni’ menurut Ki Wasis?

 “Seni rupa hanyalah tampilan lukisan jadi. Sedangkan ‘rupa seni’ adalah proses penemuan ide dan pembuatan karya. Saya menyajikan itu di jalanan. Semua orang bisa melihat saya melukis dan mengapa suatu obyek harus dilukis,” kata Ki Wasis seraya tersenyum.

Meski mendapat banyak pengalaman luar biasa, Ki Wasis mengaku sempat kesulitan pada saat awal-awal melakoni melukis jalan kaki. Ini berawal ketika ia melukis langsung di podium pada acara peresmian Jalan Affandi, Yogyakarta. Lukisan itu lahir dari inspirasinya sepanjang jalan menuju Museum Affandi. Di situlah, ia menorehkan catatan yang menyatakan, pelukis Affandi adalah rupa seni bagi lukisannya itu.

“Saya latihan dulu di alun-alun Yogyakarta. Muter-muter jalan kaki sambil melukis,” tutur pelukis berambut pirang dan bergigi ompong ini.

Pertarungan hawa nafsu, kata Ki Wasis, di perjalanan sangat terasa. Beberapa anggota tim—termasuk istri, anak dan pembantunya—kerap bertengkar tersebab kecapaian. Bahkan, ada yang minta pulang karena merasa tidak kuat. Ki Wasis dan sang pengendara motor paling sering bertengkar, misalnya, akibat kecepatan berkendara tidak stabil.

“Motor kan mesti jalan pelan. Tadinya saya menggunakan kuas, eh, tapi malah kacau kalau gerobaknya goyang. Ya sudah, saya pakai tangan langsung saja,” ungkap Ki Wasis tertawa.

Berjuang untuk menelusuri Jalan Daendels
Jalan Raya Pos, atau lebih dikenal Jalan Daendels, membentang dari Anyer hingga Panarukan. Sejarah kelam rakyat Indonesia tertimbun di dalamnya dan kini seolah terlupakan. Ki Wasis ingin menelusuri jejak itu, membentangkan kenyataan masa silam dan sekarang lewat lukisan-lukisannya. Jalan Daendels ia pilih sebagai penghargaan pada mereka yang, seperti ditulis Chairil Anwar, hanya tulang belulang berserakan diliputi debu.

Namun perjalanan Ki Wasis kali ini penuh rintangan. Pekan kemarin, saat pergi ke Anyer , ia mendapati motor, gerobak dan dokumen penting raib. Beberapa lukisan yang ada di gerobak juga hilang, ia hanya melihat puing-puing berserakan. Lima bulan lalu, ia telah mempercayakan kendaraan tempurnya itu pada Dinas Perhubungan kota setempat atas permintaan pemerintah. Namun mereka tak mau menjelaskan persoalan pencurian tersebut. Padahal, untuk menyiapkan kendaraannya, ia membutuhkan biaya besar. Belum lagi membeli cat dan ratusan kanvas untuk persiapan keberangkatan.

“Orang terdidik kok sikapnya seperti itu ya pada seniman,” ungkap Ki Wasis saat acara bedah buku Istana Jiwa karya Putu Oka Sukanta di Unisma Kota Bekasi, Selasa (19/06). Di acara ini, tidak lebih dari sejam, ia melukis tentang penindasan tentara terhadap keluarga anggota PKI. Ia juga melukis sosok Bung Karno ‘Anak Matahari’ sembari menari dan melukis, atau ia menyebutnya dengan konsep KANAGEWA (Kata, Nada, Gerak dan Warna). Mungkin inilah yang membuat Putu Oka menitikkan air mata, ia merasa hidup kembali sebagai penulis berlatar sosialis. “Saya ingin lelang dua lukisan itu untuk perjalanan pada Juli nanti. Bila ada yang berminat, komunikasikan dengan Komunitas Sastra Kalimalang,” lanjut pelukis peraih Muri ini.

Ki Wasis akan memulai perjalanan dari Anyer dan berakhir di Pulau Bali. Tiga bulan waktu tempuhnya, itu pun jika jalan terus tanpa menginap. Ia juga berangan-angan melukis di makam Raden Saleh di Bogor, maestro seni rupa Indonesia. Nama Raden Saleh jarang dibicarakan lagi di dunia kesenian Indonesia. Bahkan, kata Ki Wasis, nama Saleh sengaja dibunuh dengan alasan-alasan tak masuk akal. Halaman rumah Raden Saleh di Cikini juga dijadikan area seni, namun bernama Taman Ismail Marzuki, padahal dulu terkenal dengan sebutan Taman Raden Saleh.

“Seniman-seniman kita terlupakan di tanah air sendiri. Belum lama, untuk pertama kali, lukisan Raden Saleh dipamerkan di Galeri Nasional. Tetapi, mengapa harus diadakan orang Jerman?” kata Ki Wasis mengenang Raden Saleh.

Di balik kesederhanaan berseni itu, Ki Wasis mempunyai cita-cita besar: melukis jalan kaki menyusuri Jalan Deandels yang ada di luar negeri. Ia bertekad pula membangun Museum  melalui perpaduan teknologi digital. Langkah demi langkah didokumentasi timnya dengan sangat rapi, dari mulai tulisan, foto dan video. Di sunyi-sepi bangsanya, Ki Wasis berusaha menyedekahkan seni untuk sejarah.

Sebuah lukisan tidak jadi tiba-tiba, ada peristiwa mahadahsyat yang mungkin lebih berarti ketimbang seni rupa itu sendiri. Itulah rupa seni via Joko Wasis.(Respati Wasesa)

0 komentar:

Posting Komentar