Cericau @nengtatix & @respatiaffandi

Cericau @nengtatix & @respatiaffandi

Lupa Jati Diri, Sibuk Citra Diri

Share

DISKUSI FILM: Ruang-Rabu PMLP Universitas Katholik (Unika) Soegijapranata menggelar diskusi setelah pemutaran film indie ''Yang Patah'', Selasa (19/6) di Theater Thomas Aquinas lantai 3. Film ketiga besutan Enggar Adibroto dari Komunitas Teh Sendja ini didedikasikan untuk anak-anak cacat ganda. (SM/Hartatik)


TIDAK terkesan menggurui, film indie ''Yang Patah'' mampu mengisahkan lakon kehidupan sehari-hari dalam bahasa sederhana. Film besutan Enggar Adibroto ini merupakan film pendek berdurasi 40 menit persembahan Komunitas Teh Sendja untuk anak-anak cacat ganda.

Pemutaran perdana film ini dilakukan Ruang-Rabu Program Magister Lingkungan Perkotaan (PMLP) Universitas Katholik (Unika) Soegijapranata, kemarin, di Theater Thomas Aquinas lantai 3, dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan sang sutradara Enggar Adibroto, bersama Donny Danardono (Dosen Filsafat Unika) dan Edhie Prayitno Ige (wartawan BBC dan pegiat budaya).

''Yang Patah'' mengisahkan tentang dunia manusia dari dua sisi berbeda namun satu tujuan, yakni mencari kebahagiaan sejati. Dalam film ini kebahagiaan ditampilkan dari persepsi si kaya dan si miskin. Dewasa ini orang cenderung lupa dengan jati diri ketika hidup dalam serba berkecukupan. Sebaliknya, mereka justru sibuk dengan citra diri.

Farida atau akrab disapa Ida adalah tokoh sentral dalam film ini. Ida kecil hidup serba keterbatasan di Tempat Pembuanggan Akhir (TPA) sampah Jatibarang. Kedua orangtuanya bekerja sebagai pemulung. Seiring perjalanan waktu, Ida tumbuh menjadi wanita karir dan mapan dengan posisi manager operasional di perusahaan konstruksi. Sayangnya, kemapanan ekonomi tidak membuat dirinya bahagia.

''Ada yang hilang dari keluarga ini, mas. Kita sama-sama disibukkan dengan pekerjaan, dan tak ada lagi dialog yang harmonis,'' kata Ida pada suaminya.

Sama-sama bekerja, Ida merasa kesuksesan yang dicapai dengan suami tak ubahnya sebatas pemenuhan hasrat duniawi. Jauh dari itu, dia merasa kesepian bahkan pada akhir cerita dikisahkan dua pilihan antara keluarga atau kemanusiaan yang harus dipilih.

''Film ini bukan berakhir pada pilihan, tapi justru berujung pada ambiguitas. Kemanusiaan yang dikisahkan dengan berlatar rumah panti anak-anak cacat ganda, dan penyelamatan keluarga di ujung tanduk ini tidak bisa diposisikan sebagai pilihan,'' ujar Donny Danardono yang coba mengritisi film tersebut.

Terlepas dari kemampuan akting para pemain yang masih perlu penajaman, dan kecerobohan tata ruang, teknik kamera ataupun editing, film ini menurutnya mengagumkan. Lebih lanjut, kedua teknik ini seakan mau menunjukkan bagaimana film sebagai gambar gerak bisa merupakan pesan tersendiri.

Sementara itu, Enggar Adibroto mengatakan, ''Yang Patah'' merupakan film indie ketiga setelah ''Rumah Akar'' dan ''Mimpi Pertiwi''. Yang patut diacungi jempol adalah, seluruh pemain yang dilibatkan merupakan anggota Komunitas Teh Sendja tanpa berlatar pengetahuan sinematografi.

''Film ini obsesi idealisme, kami ingin mengajak masyarakat untuk peduli kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Namun kami juga tidak ingin menggurui dan mengeksploitasi, karena itu alur film inipun diwarnai dengan kehidupan pasangan yang berusaha mencari kenyamanan di tengah kegersangan rumah tangga,'' tukasnya. (Hartatik)

0 komentar:

Posting Komentar