Buddha Tetap Tersenyum/Hartatik |
Waisak tahun ini sungguh mengharukan: kita bermandi hujan di bawah Borobudur sambil berdoa, berdoa dan berdoa. Namo Buddhaya..Inilah Potret Mahakarya Indonesia.
Aku bukan penganut agama Buddha. Tapi aku jatuh cinta kepada ajarannya, juga Candi Borobudur, yang sampai sekarang adalah tetap keajaiban.
Malam itu, 25 Mei 2013, Magelang barangkali kota yang paling ceria. Orang berduyun-duyun datang padanya, dari muasal berbeda, warna kulit tak sama, dan agama yang tak tunggal.
Ini Indonesia kita, budaya bukan monopoli satu pihak saja. Dan Borobudur telah menjadikan dirinya sebagai tonggak kemanusiaan: memancarkan mulia.
Hujan ternyata bukan halangan bagi kita merayakan Waisak. Doa-doa menggema, api abadi di atas panggung tetap menyala. Sementara Buddha selalu duduk tenang dan tersenyum.
"Karena cuaca tidak baik, kami tidak bisa menyelenggarakan acara pelepasan lampion," kata seorang Buddhis muda melalui pengeras suara. Ia terbata-bata. Ia tahu, momen indah itu tak terwujud.
Namun, ribuan orang bisa tenang. Tak ada kegaduhan yang berarti. Ritual Waisak berlangsung damai.Malam pun tetap bisa memberikan sapaan hangat kepada setiap yang datang, meski kelam masih saja menggelayut di awan.
Catatan: Tulisan pendek ini untuk merespon foto terbaik di "Dji Sam Soe Potret Mahakarya Indonesia" berjudul Pesona Waisak.
Pesona Waisak/Satria Marsudi |
0 komentar:
Posting Komentar