Aku senang sekali bisa pulang ke kampung halaman, Pemalang. Aku bertemu keluarga dan teman-teman lama. Namun, paling bahagia adalah bisa melepas rindu dengan kekasihku, Tatik. Ia datang ke Pemalang, kemudian mengajakku ke Semarang. Hari berikutnya, kami ke Wonosobo. Dua malam di Wonosobo, kami serasa bulan madu. Dan gunung-gunung itu telah memanjakan kami dengan cara sangat sederhana: dingin.
Kereta Tegal Ekspres tujuan Semarang melaju ketika senja mulai temaram. Selamat tinggal kau Pemalang, batinku. Pekalongan-Batang-Kendal terlewati. Semarang di hadapan mata. Detak jantungku semakin berdegub kencang. Aku sadar, sebentar lagi aku berhadapan dengan keluarganya dan bermalam pula di sana.
Kami turun di Stasiun Poncol. Stasiun ini adalah tempat pertama kali aku dan Tatik bertemu. Dulu ia menyodorkan helm, kini ia menggandeng tanganku menuju ke luar memburu becak. Aku sempat berkata padanya bahwa keberadaan becak di sebuah kota ialah simbol ketidakgugupan. Ya, sama seperti kesantaianku berbicang dengan kakek dan neneknya saat mengambil motor. Toh, senyum polosku dan sedikit obrolan ringan berhasil menyihir sang nenek.
“Makan apa ya, sayang?” aku hanya menggelengkan kepala, memberi isyarat pasrah. Sambil melingkarkan tangan, ia mulai berkicau melaksanakan tugas sebagai penunjuk jalan. Kami berhenti di warung lesehan. Makan bebek goreng. “Aku bungkusin satu buat ibu di rumah,” katanya. Kami pun menelusuri jalan-jalan sunyi dan gelap di tengah hutan menuju rumah Ibu. Di perjalanan ini hanya satu yang begitu kuingat, Tatik mengencangkan pelukan ketika kami melewati pemakaman. Aku tersenyum menang.
***
Jalan gelap sepanjang sekitar 3 kilometer itu terlewati. Juga hutan jati di sebelah perumahan Palir, tempat tinggal Ibu dan adik Tatik. Suara jangkrik dan bebunyian hewan hutan menyambut kami dengan sangat lugu. Pukul 22: lebih, kami tiba di sebuah rumah petak berteras sempit, menghadap ke timur dan dekat pos kampling. Tak lama Tatik mengetuk pintu, Ibu segera keluar. Ia mengenakan daster panjang, tangannya beberapa kali disapukan ke mata sendiri.
“Silahkan masuk,” kata Ibu sambil menepuk punggungku ketika aku menunduk mencium tangannya.
Ini kali kedua pertemuanku dengan ibu. Tak ada beda seperti 4 bulan lalu kami bertemu. Ia tetap ramah. Gurat wajahnya masih menyisakan kecantikan meski badannya telah lebar mirip mamahku. Barangkali beliau sebaya dengan Mamah. Aku begitu nyaman di sisi Ibu, mungkin karena beberapa kali aku sering memimpikannya: mencium tangannya persis apa yang baru saja aku lakukan. Aku sempat ceritakan bunga tidur ini pada Tatik, tapi ia hanya tertawa mencandai.
“Kalau mau tidur, itu tempatnya. Nah, di situ kamar mandinya,” kata Ibu menunjukkan tempat. Ibu juga berbisik pada kekasihku agar membuatkan minuman. “Minum apa sayang?” ucap Tatik. Aku jawab minum air putih hangat saja, sehangat senyumnya.
Perjalanan kami sangat melelahkan, itu yang aku tangkap dari binar mata Ibu. Ia pun pergi ke kamar lagi, mengisyaratkan agar aku juga istirahat. Sambil menunggu Tatik beres-beres, seperti biasa, aku memanfaatkan waktu untuk merokok. Aku duduk di teras, pintu kututup, asap mengepul entah ke mana. Aku memang sering merenung sejenak bila datang di tempat baru, semacam beramah-tamah dengan udaranya. Namun, setelah puas di luar dan kembali ke dalam, aku terkejut: Tatik nampak sibuk menatap laptop, ia tengah mengetik berita.
“Beginilah pacaran sama jurnalis. Sibuk terus. Waktu luangya tidak menentu,” ia menatap sayu padaku dan seolah meyakinkan bahwa ia berusaha berlaku apa adanya di hadapku. Aku duduk di sampingnya dan pura-pura mengamati tulisan di layar laptop itu. Agaknya ia malu, buru-buru pipiku diserbu ciuman. Hmmm... tangannya melingkar di pingggangku sembari merengek manja. Kubalas cium keningnya. “Aku mandi dulu, sayang. Kamu juga nanti mandi, kerjaan dilanjut besok pagi saja,” kataku. Hingga aku selesai mandi, ia tetap menulis. Aku biarkan ia di depan televisi, paling tak ada setengah jam ia akan tertidur. “Tidur gih sayang. Nanti aku tidur kok,” katanya. “Ya sayang, selamat malam,” aku tersenyum, menuju kamar.
***
Kamar Tatik tak seberapa luas. Almari dan tumpukan barang-barang membikinnya tambah sempit. Namun, ruang ini telah mengajakku memasuki ke sebuah masa: kenangan.
Aku merebahkan tubuh di kasur. Aku tak mendengar suara apa pun selain bunyi papan laptop. Kekasihku masih sibuk menulis. Sesekali decak mulutnya membangkitkan aku dari kantuk. Mungkin ia gelisah atau kesal karena kehabisan ide. Dan aku masih setia menemaninya, meski terhalang tembok.
Setelah bosan memandangi langit kamar, aku bangkit. Kudekati sebuah album foto sederhana yang tertempel di dinding. Foto-foto mungil tersusun rapi di situ. Aku segera tahu, inilah masa kanak-kanak Tatik, juga kedua adiknya.
Betapa akur dan cerianya mereka. Foto tiga bersaudara itu mengingatkan aku pada cerita Tatik beberapa waktu lalu. Dialah yang melindungi kedua adiknya dan selalu bersikap mengalah. Sementara, di album, Ibu nampak langsing ketika anak-anaknya balita. Ayah? Ya, ia damai di sisi Tuhan di usia senja.
Melihat album tua ini, aku serasa disuguhi esai foto. Selembar foto gadis usia belasan, di hadapan mata, mengajakku jalan-jalan ke masa silam. “Aku dulu berjualan kue buatan ibu di kelas. Awalnya malu, maklum, ada lelaki yang aku taksir. Tapi setelah aku coba, ternyata teman-teman suka,” aku ingat kata-kata Tatik dari balik telepon.
Ketika itu, Tatik mesti prihatin. Adik dia, Rista, katanya teramat manja. Maka, Tatik dan Anto, adik laki-laki, banting tulang membantu Ibu. Mereka tinggal di rumah petak kontrakan. “Sempit. Kalau mau ke mana-mana, pinjam motor Mbah dulu. Tidak punya apa-apa,” suara Tatik kembali kuingat.
Esai foto itu juga menuntun aku melihat belia Tatik, si pekerja keras yang sempat kandas bermimpi kuliah. Ia melamar kerja di sana-sini setelah lulus SMA. Solo telah merebut perasaannya untuk ikhlas mengucurkan keringat di toko kosmetik. Tak lama, toko itu terancam bangkrut. Ia pun kembali ke Semarang. “Aku pernah mengalami rasanya di-PHK. Nyari kerja lagi,” begitu ingatku lagi.
Sudah sejauh itu aku masuk tanpa permisi ke buku hidupnya. Cukup. Aku rebah. Tirai kamar terbuka, Tatik tahu aku belum tidur. “Tidur, sayang. Besok kita berangkat pagi,” katanya. Aku sadar, aku sedang bersama perempuan tangguh. Ia meninggalkan seuntai senyum, mengantarku lelap.
(Bersambung... mau baca lagi: wani piro? :p)
***
Kamar Tatik tak seberapa luas. Almari dan tumpukan barang-barang membikinnya tambah sempit. Namun, ruang ini telah mengajakku memasuki ke sebuah masa: kenangan.
Aku merebahkan tubuh di kasur. Aku tak mendengar suara apa pun selain bunyi papan laptop. Kekasihku masih sibuk menulis. Sesekali decak mulutnya membangkitkan aku dari kantuk. Mungkin ia gelisah atau kesal karena kehabisan ide. Dan aku masih setia menemaninya, meski terhalang tembok.
Setelah bosan memandangi langit kamar, aku bangkit. Kudekati sebuah album foto sederhana yang tertempel di dinding. Foto-foto mungil tersusun rapi di situ. Aku segera tahu, inilah masa kanak-kanak Tatik, juga kedua adiknya.
Betapa akur dan cerianya mereka. Foto tiga bersaudara itu mengingatkan aku pada cerita Tatik beberapa waktu lalu. Dialah yang melindungi kedua adiknya dan selalu bersikap mengalah. Sementara, di album, Ibu nampak langsing ketika anak-anaknya balita. Ayah? Ya, ia damai di sisi Tuhan di usia senja.
Melihat album tua ini, aku serasa disuguhi esai foto. Selembar foto gadis usia belasan, di hadapan mata, mengajakku jalan-jalan ke masa silam. “Aku dulu berjualan kue buatan ibu di kelas. Awalnya malu, maklum, ada lelaki yang aku taksir. Tapi setelah aku coba, ternyata teman-teman suka,” aku ingat kata-kata Tatik dari balik telepon.
Ketika itu, Tatik mesti prihatin. Adik dia, Rista, katanya teramat manja. Maka, Tatik dan Anto, adik laki-laki, banting tulang membantu Ibu. Mereka tinggal di rumah petak kontrakan. “Sempit. Kalau mau ke mana-mana, pinjam motor Mbah dulu. Tidak punya apa-apa,” suara Tatik kembali kuingat.
Esai foto itu juga menuntun aku melihat belia Tatik, si pekerja keras yang sempat kandas bermimpi kuliah. Ia melamar kerja di sana-sini setelah lulus SMA. Solo telah merebut perasaannya untuk ikhlas mengucurkan keringat di toko kosmetik. Tak lama, toko itu terancam bangkrut. Ia pun kembali ke Semarang. “Aku pernah mengalami rasanya di-PHK. Nyari kerja lagi,” begitu ingatku lagi.
Sudah sejauh itu aku masuk tanpa permisi ke buku hidupnya. Cukup. Aku rebah. Tirai kamar terbuka, Tatik tahu aku belum tidur. “Tidur, sayang. Besok kita berangkat pagi,” katanya. Aku sadar, aku sedang bersama perempuan tangguh. Ia meninggalkan seuntai senyum, mengantarku lelap.
(Bersambung... mau baca lagi: wani piro? :p)
0 komentar:
Posting Komentar